BAB I

TENTANG INDUSTRI ASET KEUANGAN DIGITAL TERMASUK ASET KRIPTO

1.1.       Sejarah Aset Keuangan Digital Termasuk Aset Kripto

Sejarah aset digital bermula pada tahun 1998 ketika Nick Szabo mengusulkan gagasan “bit gold”, bentuk mata uang digital terdesentralisasi yang bertujuan untuk menciptakan mekanisme pembayaran yang bebas dari otoritas pusat[1] (Gambar 1). Satu dekade kemudian, Satoshi Nakamoto memperkenalkan Bitcoin sebagai mata uang digital peer-to-peer yang diciptakan menggunakan teknologi blockchain tanpa otoritas pusat yang mengaturnya.

Satoshi Nakamoto mendefinisikan cryptocurrency sebagai “a chain of digital signatures”[2]. Sekitar dua tahun kemudian, Bank Indonesia mendefinisikan cryptocurrency sebagai “virtual currency” atau “mata uang yang diterbitkan oleh pihak selain otoritas moneter melalui proses mining, pembelian, atau transfer insentif (reward).” Di Indonesia, cryptocurrency tidak diakui secara hukum sebagai alat pembayaran yang sah maupun sebagai mata uang resmi[3].

Setelah kesuksesan Bitcoin, ribuan mata uang digital lain yang dikenal sebagai “altcoin” atau alternatif dari Bitcoin (atau terkadang Ethereum) bermunculan. Seiring dengan perkembangan aset digital dan volatilitas mata uang kripto seperti Bitcoin, stablecoin diperkenalkan pada tahun 2014 untuk mengurangi risiko volatilitas karena nilainya dikaitkan dengan aset tradisional seperti mata uang fiat atau komoditas[1]. Perkembangan pesat terlihat di pasar aset digital dari tahun 2016 hingga 2018. Namun, pada tahun 2018 pasar mengalami kelesuan dimana nilai Bitcoin dan Ethereum anjlok, atau dikenal sebagai “musim dingin kripto.” Pasar mulai mengalami perbaikan pada awal tahun 2019[1]. Selanjutnya, tahun 2023 menjadi tahun pemulihan aset kripto ketika industri ini bangkit kembali dari skandal, dan penurunan harga. Hal ini mengakhiri fase musim dingin kripto, dan mengawali fase pertumbuhan[4].

1.2.       Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto

Sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, aset keuangan digital merupakan aset keuangan yang disimpan atau direpresentasikan secara digital, termasuk di dalamnya aset kripto. Selanjutnya, aset kripto didefinisikan sebagai representasi digital dari nilai yang dapat disimpan dan ditransfer menggunakan teknologi yang memungkinkan penggunaan buku besar terdistribusi seperti blockchain untuk memverifikasi transaksinya dan memastikan keamanan dan validitas informasi yang tersimpan, tidak dijamin oleh otoritas pusat seperti bank sentral tetapi diterbitkan oleh pihak swasta, dapat ditransaksikan, disimpan, dan dipindahkan atau dialihkan secara elektronik, dan dapat berupa koin digital, token, atau representasi aset lainnya yang mencakup aset kripto terdukung (backed crypto-asset) dan aset kripto tidak terdukung (unbacked crypto-asset).

Financial Stability Board (FSB) mendefinisikan aset kripto sebagai jenis aset digital yang bergantung pada penggunaan kriptografi serta Distributed Ledger Technology (DLT) atau teknologi sejenis. Terminologi yang digunakan untuk aset kripto sangat beragam. Di berbagai negara, aset kripto juga disebut sebagai virtual assets, digital assets, cryptocurrencies, ataupun digital currencies. Berdasarkan POJK Nomor 27 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Perdagangan Aset Keuangan Digital Termasuk Aset Kripto (POJK AKD AK), aset kripto diposisikan menjadi bagian dari AKD AK (Gambar 2).

Aset kripto tidak terdukung (unbacked crypto asset) adalah jenis aset kripto tertua dan terpopuler, yang tidak mengandalkan nilai aset pendukung apapun, melainkan pada mekanisme penawaran dan permintaan[5]. Aset kripto awalnya dimaksudkan sebagai uang digital untuk digunakan di internet dan aset kripto tidak terdukung (unbacked crypto asset) tidak dapat dianggap sebagai alat pembayaran karena harganya terlalu fluktuatif[6]. Contoh aset kripto tidak terdukung (unbacked crypto asset) antara lain Bitcoin and Ether. Aset-aset ini tidak mempunyai nilai fundamental karena tidak terikat pada aliran keuntungan atau pembayaran kupon di masa depan[7].

Seiring dengan perkembangan aset digital dan volatilitas aset kripto seperti Bitcoin, aset kripto terdukung (backed crypto-asset) didesain untuk mengurangi fluktuasi nilai dengan mengaitkan nilainya kepada aset tradisional seperti mata uang fiat dan/atau komoditas. Contoh backed crypto-asset adalah Tether (USDT) di mana nilai tukarnya dipatok terhadap dolar AS dengan rasio 1:1 dan didukung oleh cadangan mata uang fiat dolar[8].

Selain kedua istilah di atas, saat ini mulai berkembang tokenisasi. Berdasarkan OECD (2021)[9], tokenisasi aset adalah representasi digital dari aset fisik pada buku besar terdistribusi (biasa disebut digital twins), misalnya dengan menerbitkan token pada blockchain. Hal ini berbeda dengan aset kripto yang lahir secara digital tanpa adanya aset fisik. Contoh dari tokenisasi aset adalah melakukan tokenisasi terhadap Efek (saham dan obligasi) atau bahkan manfaat ekonomi dari properti (real estate tokenization).

1.3.       Praktik Pengawasan di Negara Lain

Pendekatan terhadap aset kripto berbeda-beda di berbagai yurisdiksi. Berdasarkan laporan Cambridge Centre for Alternative Finance (CCAF) tahun 2024 (Gambar 3) diketahui bahwa 43,30% yurisdiksi belum mengatur aktivitas aset kripto, 44,10% yurisdiksi telah mengatur, dan 12,60% sisanya melarang aktivitas tersebut. Yurisdiksi yang memilih untuk mengatur aktivitas aset kripto sebagian besar memperkenalkan regulasi komprehensif beserta kerangka perizinan (35,30%). Sementara itu, hanya 8,80% yurisdiksi yang memiliki regulasi khusus yang berfokus pada APU PPT[10].

Sumber: CCAF (2024)

Laporan CCAF juga menjelaskan bahwa secara global, aset kripto secara bertahap mulai dimasukkan ke dalam kerangka pengawasan regulasi, sejalan dengan rekomendasi terkini dari badan-badan penyusun standar internasional. Aspek pengaturan terhadap aktivitas aset kripto menjadi lebih prioritas. Lebih lanjut, meskipun semakin banyak yurisdiksi yang mengambil langkah untuk mengatur aset kripto, kecepatan dalam mengimplementasikan regulasi bervariasi. Jenis kerangka, penerapan, penyesuaian, dan cakupan regulasi, atau pembentukan regulasi khusus cukup beragam antar yurisdiksi. Namun, terdapat tren umum menuju penyesuaian pengaturan aset kripto dan perluasan lingkup pengaturan, dari sebelumnya berfokus pada APU PPT dan kustodian diperluas hingga mencakup perdagangan, integritas pasar, dan aspek lainnya.

1.4.       Mekanisme Transaksi Perdagangan Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto

1.4.1.  Over The Counter (OTC)

Perdagangan over the counter (OTC) adalah metode pertukaran aset kripto secara langsung antara dua pihak, tanpa melibatkan pertukaran terpusat. Perdagangan OTC memungkinkan lebih banyak privasi karena transaksi terjadi langsung antara pembeli dan penjual tanpa menggunakan buku pesanan [11]. Namun, perdagangan aset kripto OTC memiliki risiko pihak lawan (counterparty risk) yang dapat mengakibatkan kerugian finansial.

Dalam praktiknya, broker biasanya berperan sebagai perantara, menghubungkan pembeli dan penjual (Gambar 4). Para pihak terlebih dahulu melakukan negosiasi mengenai persyaratan seperti kuantitas, harga, mekanisme penyelesaian, dan waktu transaksi.

1.4.2.  On The Counter

Berbeda dengan OTC, on the counter atau sering disebut dengan exchange-based crypto trading atau spot trading berlangsung pada platform terbuka yang memiliki buku pesanan, dan menawarkan transparansi, namun dengan privasi yang lebih terbatas[12]. Pada metode ini pembeli dan penjual dapat memperdagangkan satu aset kripto dengan aset kripto lainnya, atau menukarnya dengan dana fiat. Buku pesanan menampilkan pesanan beli dan jual yang secara langsung mempengaruhi harga aset kripto. Harga aset kripto yang terbentuk di masing-masing Pedagang AKD AK dapat berbeda karena dipengaruhi oleh mekanisme penawaran dan permintaan pada Pedagang AKD AK[13].

Di Indonesia, perdagangan aset kripto dapat dilakukan melalui platform yang disediakan oleh Pedagang AKD AK. Selain reputasi Pedagang AKD AK, konsumen perlu memperhatikan biaya yang dikenakan oleh masing-masing Pedagang AKD AK atas setiap transaksi jual dan/atau beli aset kripto. Saat ini, transaksi melalui on the counter mendominasi pasar, yaitu hampir 90% karena menawarkan kemudahan dan likuiditas serta adanya layanan penyimpanan aset kripto pada Pedagang AKD AK[14].

1.5.       Manfaat dan Risiko Aset Kripto

Aset kripto berkembang pesat seiring meningkatnya minat masyarakat terhadap aset digital terutama sebagai instrumen investasi. Dalam konteks ini, aset kripto menyediakan kesempatan baru bagi para investor dan pelaku pasar untuk berpartisipasi dalam ekonomi digital. Aset kripto menawarkan sejumlah manfaat, baik bagi individu maupun bagi sistem keuangan secara keseluruhan. Manfaat utamanya mendorong inklusi keuangan dan meningkatkan akses terhadap layanan keuangan termasuk masyarakat yang tidak dapat dijangkau institusi keuangan tradisional. Siapapun dengan akses internet dapat berpartisipasi dalam pasar aset digital. Selain itu, aset kripto memungkinkan transparansi yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem keuangan tradisional.

Selanjutnya, transaksi AKD AK dapat dieksekusi lebih cepat karena terdesentralisasi dibandingkan dengan institusi keuangan tradisional yang membutuhkan peran perantara seperti bank sentral atau institusi keuangan. Oleh karena itu, transaksi AKD AK dapat menawarkan biaya transaksi yang lebih efisien. Transaksi AKD AK juga dinilai relatif aman karena menggunakan teknologi kriptografi. Kriptografi mengubah teks biasa menjadi teks sandi menggunakan algoritma yang rumit, sehingga sangat sulit bagi pihak yang tidak berwenang (peretas) untuk memanipulasi data[15].

Aset kripto juga menawarkan fleksibilitas melalui transaksi yang pada umumnya berjalan 24 (dua puluh empat) jam dalam sehari, dan 7 (tujuh) hari dalam seminggu, sehingga memungkinkan pengguna untuk melakukan jual beli kapan saja, tanpa terikat oleh jam operasional seperti pada institusi keuangan tradisional. Manfaat ini memberikan kenyamanan bagi para konsumen dan pelaku pasar di seluruh dunia, terutama mereka yang beroperasi di zona waktu berbeda. Namun, fleksibilitas ini juga membawa risiko tersendiri, seperti peningkatan volatilitas harga yang dapat terjadi sewaktu-waktu, terutama di luar jam kerja reguler. Selain itu, kecepatan transaksi yang tinggi dapat mendorong keputusan investasi yang impulsif sehingga meningkatkan risiko kesalahan atau kerugian.

Selain memberikan manfaat, penggunaan aset kripto juga memiliki sejumlah risiko. AKD AK cenderung sangat fluktuatif dalam waktu singkat yang dapat menyebabkan keuntungan atau kerugian signifikan bagi konsumen. Karena nilai AKD AK dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti perubahan regulasi dan peristiwa global, fluktuasi nilai pasti akan terjadi, sehingga menjadikannya investasi berisiko tinggi. AKD AK juga rentan terhadap kejahatan siber seperti peretasan dan skema phishing.

Mengelola dan memahami AKD AK juga memerlukan pengetahuan akan teknologi dan keterampilan teknis tertentu. Pengguna yang tidak memiliki pengetahuan teknis dasar atau tidak familiar dengan platform ini dapat mengalami kesulitan dalam mengelola AKD AK secara efektif. Pasar AKD AK rentan terhadap penipuan, termasuk skema pump-and-dump[1] yang dapat mengakibatkan kerugian besar bagi pengguna. Selain itu juga terdapat faktor tuduhan perdagangan orang dalam yang terkait dengan aset kripto.

Lebih lanjut, laporan Europol[16] dan Chainalysis[17] yang diterbitkan pada tahun 2024 menyoroti peningkatan penggunaan aset kripto dalam aktivitas kriminal, seperti pencucian uang, penipuan investasi, dan pembayaran ilegal, meskipun nilainya hanya sekitar 0,34% atau USD24,2 miliar dari total transaksi kriminal global. Lebih lanjut, total nilai aset kripto yang diterima oleh alamat yang ilegal dari 2018 hingga 2023 menunjukkan fluktuasi yang signifikan. Namun, angka tersebut menurun dari tahun 2022, yaitu sebesar USD39,6 miliar. Penurunan ini mencerminkan berkurangnya aktivitas ilegal namun angka tersebut masih berupa estimasi awal yang kemungkinan meningkat seiring identifikasi aktivitas ilegal baru, yakni meliputi ransomware[2], scam[3], dan lainnya, dengan pola yang terus berubah dari tahun ke tahun.

Risiko penyalahgunaan oleh jaringan kriminal dan fluktuasi harga aset kripto yang tinggi menjadi perhatian utama, dan teknologi yang meningkatkan privasi memberikan tantangan tambahan dalam pengawasan. Dengan demikian, konsumen harus berhati-hati dalam memahami potensi fluktuasi harga, dan menghindari platform atau skema yang mencurigakan.

[1] Pump-and-dump dalam aset kripto adalah taktik manipulasi pasar yang mana nilai suatu aset kripto dinaikkan secara artifisial untuk menarik peserta, lalu dijual, yang menyebabkan harganya jatuh.

[2] Ransomware adalah jenis malware yang mencegah akses perangkat dan data yang tersimpan di dalamnya, biasanya dengan mengenkripsi berkas.

[3] Scam merupakan skema penipuan yang dirancang untuk menipu investor individu atau organisasi agar menyerahkan aset keuangan.

1.6.       Industri AKD AK di Indonesia

Dalam konteks digital, aset kripto berbasis teknologi blockchain[1] dapat dianggap sebagai hak atau kepentingan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK)[18]. Selanjutnya pada tahun 2018, Kementerian Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto (Crypto Asset).

Tujuan pengaturan dan pengawasan perdagangan aset kripto adalah memberikan kepastian hukum terhadap pelaku usaha perdagangan aset kripto di Indonesia, memberikan perlindungan kepada konsumen aset kripto, memfasilitasi inovasi, pertumbuhan, dan perkembangan teknologi digital, serta mencegah penggunaan aset kripto untuk tujuan ilegal. Pengaturan dan pengawasan aset kripto di Indonesia juga bertujuan untuk mencegah terjadinya capital outflow ke luar negeri[19]. Menyikapi hal tersebut, pada tahun 2018 Pemerintah Indonesia melalui Bappebti mulai mengatur dan mengawasi perdagangan aset kripto.

IAKD telah mengalami pertumbuhan pesat di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir terutama di kalangan generasi muda, karena potensi keuntungannya yang tinggi dan sifatnya yang terdesentralisasi. Hal ini berpotensi untuk mendukung perkembangan sektor jasa keuangan. Jumlah investor aset kripto dalam 5 (lima) tahun terakhir juga mencatatkan pertumbuhan signifikan. Pada bulan Oktober 2024, jumlah investor aset kripto di Indonesia adalah sebanyak 21,63 juta[23] dan mengalami peningkatan dibandingkan posisi yang sama pada tahun 2023 sebanyak 18,06 juta orang [24]. Dalam laporan Triple – A yang diterbitkan pada Mei 2024, Indonesia menduduki peringkat ke-12 negara dengan adopsi[1] aset kripto tertinggi di dunia, yaitu sebesar 13,90% dari jumlah populasi[25] (Gambar 5).

[1] Adopsi kripto direpresentasikan dengan jumlah orang dari total populasi yang memiliki atau menyimpan mata uang kripto pada wallet.

[1] Blockchain adalah teknologi yang digunakan sebagai sistem penyimpanan atau bank data secara digital yang terhubung dengan kriptografi. Blockchain terdiri dari serangkaian blok yang menyimpan transaksi yang diverifikasi dan dicatat dalam rantai terdesentralisasi.

Sumber: www.triple-a.io

Berbeda dengan Indonesia, Jepang mulai mengatur perdagangan aset kripto pada tahun 2016 setelah peristiwa MtGox, yang saat itu merupakan salah satu bursa Bitcoin terbesar yang dituduh melakukan pencurian sekitar 850.000 Bitcoin milik konsumennya dan menyatakan kebangkrutan pada tahun 2014[20]. Kemudian, Jepang melakukan pengaturan yang lebih ketat terhadap industri aset kripto setelah salah satu serangan siber terbesar di dunia yang dialami oleh Coincheck yang menyebabkan hilangnya aset kripto konsumen dengan nilai mencapai USD532 miliar pada Januari 2018[21]. Tujuan pengaturan perdagangan aset kripto di Jepang adalah untuk memberikan pelindungan kepada konsumen dan mencegah pendanaan teroris dan pencucian uang menggunakan aset kripto[22].

Lebih lanjut, berbagai sentimen positif di ranah global, termasuk adanya halving[1] Bitcoin di tahun 2024, nilai transaksi aset kripto melonjak secara signifikan. Sampai dengan Oktober 2024, nilai transaksi perdagangan aset kripto di Indonesia mencapai Rp475,13 triliun dan mengalami peningkatan signifikan sebesar 352,89% secara tahunan[23] dan mencapai puncaknya pada tahun 2021 dengan nilai transaksi Rp859,40 triliun (Gambar 6). Pertumbuhan transaksi aset kripto di Indonesia juga berkontribusi positif bagi penerimaan pajak. Sejak 2022 hingga Oktober 2024, Pemerintah membukukan pajak atas transaksi aset kripto sebesar Rp942,88 miliar[23]. Berdasarkan Peraturan Bappebti Nomor 2 Tahun 2024 tanggal 19 Februari 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bappebti Nomor 11 Tahun 2022 mengenai Penetapan Daftar Aset Kripto yang Diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto, Bappebti telah menetapkan sebanyak 545 aset kripto yang dapat diperdagangkan.

[1] Halving merupakan proses pengurangan setengah dari reward yang diberikan kepada penambang blockchain untuk mempertahankan value dari koin tersebut, seperti yang terjadi pada Bitcoin setiap 210.000 blok.

Merespon pertumbuhan transaksi dan jumlah konsumen AKD AK, serta kompleksitas dan risiko AKD AK tersebut, berdasarkan UU P2SK, OJK memperoleh mandat pengaturan dan pengawasan terhadap industri AKD AK yang harus diselesaikan secara penuh paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak pengundangan UU P2SK. Pengalihan ini memberikan peluang pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi untuk memelihara stabilitas sistem keuangan, mendorong pengembangan dan penguatan sektor keuangan, serta pelindungan konsumen.

1.7.       Kegiatan Lain dalam Industri AKD AK

Terdapat kegiatan lain yang dapat dilakukan oleh Pedagang AKD AK, antara lain staking[1] yang memungkinkan pemegang aset kripto untuk berpartisipasi sebagai validator dalam mekanisme konsensus Proof of Stake (PoS) untuk mendapatkan insentif (reward). Hal ini dilakukan dengan mengunci aset kripto milik konsumen ke dalam kontrak staking dan menjalankan program perangkat lunak validator terkait. Mekanisme ini dikembangkan sebagai alternatif dari konsensus Proof of Work (PoW) atau disebut juga sebagai mining yang merupakan sebuah mekanisme yang digunakan dalam sistem blockchain publik untuk memverifikasi transaksi dan menambang blok baru. PoW dirancang untuk mencegah serangan siber, seperti pengiriman email berbahaya, spam, atau distributed denial of service (DDoS)[1].

[1] DDoS merupakan serangan untuk mengganggu fungsi normal server, layanan, atau jaringan yang menjadi target dengan “membanjiri” lalu lintas (flood of traffic). Serangan tersebut “terdistribusi” karena berasal dari berbagai sumber.

[1] Staking merupakan proses di mana pemegang aset kripto mengunci atau menyimpan aset mereka dalam dompet tertentu untuk mendukung operasi jaringan blockchain, seperti konsensus atau validasi transaksi, dan mendapatkan imbalan sebagai gantinya.

1.8.       Penyelenggara Perdagangan AKD AK

Di Indonesia, penyelenggaraan perdagangan AKD AK didukung oleh Penyelenggara Perdagangan AKD AK (Gambar 7) yang terdiri dari :

  1. Penyelenggara Bursa AKD AK;
  2. Lembaga Kliring Penjaminan dan Penyelesaian;
  3. Pengelola Tempat Penyimpanan;
  4. Pedagang AKD AK; dan
  5. Pihak lainnya yang ditetapkan oleh OJK.

Selain di Indonesia, konsep penyelenggaraan perdagangan AKD AK di atas juga dikenal di beberapa negara lain seperti Jepang dan Korea Selatan. Pada tahun 2018, Jepang melalui Japan Financial Service Authority (JFSA) membentuk Japan Virtual and Crypto Assets Exchange Association (JVCEA) yang merupakan organisasi yang dibentuk untuk mengatur operasi, standar praktik, dan perilaku para anggotanya terkait dengan penyelenggaraan perdagangan aset kripto. Pembentukan JVCEA adalah untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat akibat peristiwa serangan siber yang dialami oleh Coincheck[1], pedagang aset kripto di Jepang, yang mengalami kerugian dengan nilai salah satu yang terbesar sepanjang sejarah aset kripto[27]. Kemudian pada tahun 2020, Jepang memperkenalkan 1 (satu) organisasi lain yang disebut Japan Security Token Offering Association (JSTOA) untuk melakukan pengaturan terhadap Security Token Offfering (STO) dan Initial Coin Offering (ICO). Penyimpanan aset kripto milik konsumen dilakukan pada masing-masing Pedagang AKD AK atau lembaga lain yang menyediakan layanan penyimpanan.

Di Korea Selatan, Digital Asset Exchange Alliance (DAXA) merupakan organisasi yang dibentuk oleh beberapa platform pertukaran aset digital terbesar. Tujuan utama DAXA adalah untuk meningkatkan transparansi, kredibilitas, dan standar keamanan dalam industri aset kripto, serta untuk melindungi para konsumen dengan cara menetapkan pedoman dan peraturan yang lebih ketat. DAXA berperan penting dalam mengarahkan dan membentuk regulasi untuk pasar aset kripto di Korea Selatan. DAXA juga berkontribusi dalam menciptakan ekosistem yang lebih aman dan lebih profesional bagi para konsumen AKD AK di negara tersebut.

[1] Coincheck merupakan pedagang aset kripto yang mengalami salah satu serangan siber terbesar di dunia yang menyebabkan hilangnya aset kripto konsumen dengan nilai mencapai USD532 miliar pada Januari 2018.

1.8.1. Penyelenggara Bursa AKD AK

Penyelenggara Bursa AKD AK adalah badan usaha yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk memfasilitasi kegiatan perdagangan AKD AK. Anggota Bursa mempunyai hak untuk menggunakan sistem dan/atau sarana yang difasilitasi Bursa sesuai dengan peraturan dan tata tertib Bursa. Bursa bertanggung jawab mengawasi pelaksanaan transaksi perdagangan AKD AK agar berjalan dengan teratur, wajar, dan transparan. Untuk itu, Bursa wajib menyediakan fasilitas sistem yang handal, melakukan pengawasan terhadap seluruh transaksi perdagangan AKD AK, dan mengambil langkah-langkah untuk menjamin terlaksananya mekanisme perdagangan AKD AK dengan baik. Selain itu, Bursa juga melakukan analisis atas usulan penambahan atau pengurangan aset kripto dalam daftar aset kripto, melakukan evaluasi terhadap AKD AK yang diperdagangkan, menyediakan akses terhadap sistem pengawasan dan pelaporan yang handal dan real time kepada OJK, serta memenuhi persyaratan terkait pangkalan data (database).

1.8.2. Lembaga Kliring Penjaminan dan Penyelesaian Perdagangan AKD AK

Lembaga Kliring Penjaminan dan Penyelesaian Perdagangan AKD AK (Kliring) adalah badan usaha yang menyediakan jasa penyelesaian dan penjaminan penyelesaian transaksi perdagangan AKD AK. Dalam operasionalnya, dana fiat konsumen yang disetor dan akan digunakan dalam transaksi aset kripto akan disimpan di Kliring. Oleh karena itu, sistem penjaminan penyelesaian transaksi milik Kliring harus memiliki fungsi pengawasan, penyelesaian transaksi, penjaminan penyelesaian transaksi. Selain itu, Kliring juga memastikan validasi yang baik atas pencatatan saldo dan mutasi dana fiat serta AKD AK milik konsumen, yang disimpan di Pedagang AKD AK dan Pengelola Tempat Penyimpanan AKD AK, dalam rangka penyelesaian transaksi.

1.8.3. Pengelola Tempat Penyimpanan AKD AK

Pengelola Tempat Penyimpanan AKD AK (Kustodian) adalah badan usaha yang telah memperoleh izin usaha untuk mengelola tempat penyimpanan AKD AK dalam rangka melakukan penyimpanan, pemeliharaan, pengawasan dan/atau penyerahan AKD AK. Kustodian wajib memiliki sistem dan sarana penyimpanan pada cold wallet[1] dan hot wallet[2] yang dipergunakan untuk memfasilitasi penyimpanan AKD AK secara aman, handal, dan dapat dipertanggungjawabkan, yang terhubung dengan Kliring dan Pedagang AKD AK.

1.8.4. Pedagang AKD AK

Pedagang AKD AK adalah badan usaha yang melakukan perdagangan AKD AK, baik atas nama diri sendiri dan/atau memfasilitasi konsumen. Berdasarkan website Bappebti, jumlah Pedagang AKD AK per November 2024 adalah 35 (tiga puluh lima), terdiri dari 8 (delapan) Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) dan 27 (dua puluh tujuh) Calon Pedagang Fisik Aset Kripto (CPFAK). Sebagian besar Pedagang AKD AK berkantor pusat di Jakarta.

[1] Cold wallet merupakan jenis dompet aset kripto yang tidak terhubung langsung ke internet.

[2] Hot wallet merupakan jenis dompet aset kripto yang terhubung langsung ke internet.

to top